Sejarah Balai Pemasyarakatan

Sejarah dan Dasar Hukum Balai Pemasyarakatan

Secara normatif, keberadaan Balai Pemasyarakatan baru disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Pemasyarakatan. Meskipun begitu, sebenarnya lembaga sejenis sebelumnya telah ada, namun dengan nama Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Bispa). Bahkan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, pelaksanaan sebagian dari fungsi-fungsi lembaga tersebut telah ada, yakni  dilaksanakan oleh lembaga lain yang tergabung dalam lembaga kepenjaraan saat itu bernama “Gevangenis Tucht, Opvuding, Reclaseering & Armwezen” atau disingkat “Gevangeniswezen & TORA” (Kepenjaraan, Reklasering, dan Urusan-urusan Orang Miskin)[1], istilah reklasering inilah yang lama kelamaan menjadi cikal bakal pendirian Balai Pemasyarakatan. Reklasering berasal dari bahasa Belanda yakni “reclasseering” yang berarti pemulihan kembali[2].

Istilah reklasering dipakai oleh R. Soesilo[3] dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada pasal-pasal berikut :

  1. Penjelasan pasal 14 d menyebutkan atau memakai istilah “Reclassering atau Pra Yuana”[4].
  2. Pasal 16 ayat 2 menyatakan : “Keputusan sebelumnya dewan pusat untuk reclassering di dengar”. Penjelasan pasal 16 : “Pelepasan bersyarat itu dengan pertimbangan Dewan Pusat Reclassering”.[5]

Sementara Moeljatno[6] menggunakan istilah reklasering, dalam pasal 16 ayat 1 dan 2 KUHP : “Keputusan sebelum Dewan Reklasering Pusat di dengar”. Menurut Sudarsono[7] pengertian reklasering adalah : “Langkah / tindakan pengembalian kepada masyarakat atau kepada kehidupan yang biasa misalnya dengan mengawasi orang yang dihukum dengan syarat memberi bantuan kepada orang-orang yang baru keluar dari Lembaga Pemasyarakatan ( LP )”.

Membicarakan sejarah pembentukan Bapas, maka tidak akan terlepas dari sejarah pemasyarakatan secara keseluruhan yang bermula dari sistem kepenjaraan. Untuk lebih memberikan gambaran mengenai asal mula beridirinya Bapas, dalam tulisan ini penulis mencoba memaparkannya dalam tiga periode, yakni periode sebelum proklamasi kemerdekaan sebelum tahun 1945, periode kepenjaraan tahun 1945-1963 dan periode pemasyarakatan 1963 sampai dengan sekarang.

Periode pertama yakni periode sebelum proklamasi kemerdekaan, pada masa ini tugas-tugas di bidang kepenjaraan dilaksanakan oleh institusi bernama “Gevangenis Tucht, Opvuding, Reclaseering & Armwezen” (Kepenjaraan, Reklasering, dan Urusan-Urusan Orang Miskin), dengan peraturan berupa “Gestichten Reglement” staatsblad 1917 No. 708 (Reglemen Penjara). Urusan yang menangani tentang ke-Bapas-an saat itu dikenal dengan istilah reklasering.

Pada tanggal 5 Agustus 1927 melalui “Gouveernements Besluit” (Keputusan Pemerintah) dibentuklah satu badan bernama “Central College voor de Reclassering[8] yang bertugas memberikan saran kepada Direktur Justisi tentang segala masalah prinsipil dan lain-lain yang berhubungan dengan reklasering. Setelah itu diangkat pula “Ambtenar der Reklasering[9] pada tahun 1928 yang pada saat itu baru ada satu, yakni di Jawa Barat, jabatan inilah yang menjadi cikal bakal jabatan fungsional pembimnbing kemasyarakatan (PK) yang pada saat itu memiliki tugas diantaranya untuk pelaksanaan pendidikan paksa bagi anak-anak nakal dan pengawasan bagi orang yang oleh hakim dijatuhi putusan voorwaardelijke veroordeeling (VV) atau pidana bersyarat (dalam hukum pidana Inggris-Amerika dikenal dengan istilah probation)[10] sesuai pasal 14 a KUHP dan  Voorwaardelijke Invrijheidstelling (VI) atau pelepasan bersyarat sesuai pasal 15 KUHP (dalam hukum pidana Inggris-Amerika dikenal dengan istilah parole)[11].

Setelah pendudukan Jepang (1942-1945), terjadi perpindahan kekuasaan kepada Jepang, dalam periode ini sistem kepenjaraan mengalami banyak kemunduran dan merupakan masa kegelapan sehingga urusan-urusan untuk reklasering menjadi tidak terlaksana.

Periode kedua, tahun 1945-1963 berlaku sistem kepenjaraan, fungsi kepenjaraan pada masa ini dilaksanakan oleh satu instansi bernama Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Reklassering. Sesuai dengan Surat Putusan Kepala Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Reklassering tertanggal Jakarta 14 Nopember 1950 Nomor J.H. 6/19/16. bahwa Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan (pada waktu itu singkatannya KBDK terdiri dari bagian bagian : Penempatan Orang-Orang Terpenjara dan Statistik (bagian I), Perbendaan (bagian II), Urusan Pegawai (bagian III), Perbendaharaan (bagian IV), Pembukuan Perusahaan (bagian V), Urusan Umum, Arsip dan Expedisi (bagian VI), Pendidikan Paksa dan Reklasering (bagian VII), Pendidikan (bagian VIII). Dengan Surat Menteri Kehakiman tanggal 11 November 1947 Nomor G.8/2066, ditandatangani oleh Kepala Penjabatan Kepenjaraan atas nama menteri, ditetapkan pula Instruksi Pegawai Pembantu Reklasering dan Pegawai Pembantu Reklasering Pusat antara lain mengenai hak-hak dan kewajibannya.

Periode ketiga, tahun 1964 sampai dengan sekarang berlaku sistem pemasyarakatan. Dengan adanya surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 15 Juli 1964 Nomor J.S.4/12/21, yang merupakan penyempurnaan terhadap struktur organisasi Departemen Kehakiman yang telah ditetapkan sebelumnya dengan Surat Keputusan Menteri tanggal 12 Februari 1964 Nomor J.S.4/4/4, Kepala Direktorat Pemasyarakatan berada di tempat echelon yang kedua, sebagai pemimpin pelaksanaan kebijakan Menteri di bidang pemasyarakatan dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kehakiman.

Melalui Keputusan Presidium Kabinet tanggal 3 Nopember 1966 Nomor 75/U/Kep/11/1966, antara lain ditetapkan struktur organisasi dari departemen yang di dalamnya terdapat institut direktur jenderal departemen yang membawahi direktur sebagai kepala / unsur pelaksana dari sebagian tugas direktorat jenderal departemen. Dalam keputusan tersebut dibentuk Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang membawahi Direktorat Pemasyarakatan dan Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Bispa). Pada tanggal 10 Juli 1968 melalui surat Direktur Jenderal Pemasarakatan Nomor KP.6/6/8/1 perihal Pembukaan Kantor Bispa[12] diuraikan rangkaian tugas Balai Bispa, kemudian sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1969 direncanakan pendirian 20 buah kantor-kantor daerah Bispa yang selanjutnya menjadi Balai Bispa.

Setelah periode pemasyarakatan ini, berangsur-angsur dikeluarkan peraturan-pertaturan baik berupa surat edaran maupun keputusan menteri mengenai organisasi serta tugas balai Bispa diantaranya :

  1. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Tuna Warga Nomor DDP.2.1/1/13 Tahun 1977 tentang Tugas-tugas Balai Bispa;
  2. Surat Direktur Jenderal Bina Tuna Warga Nomor DDP.2.1/1/1 Tahun 1977 tentang Tugas-tugas Balai Bispa;
  3. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU.5.22/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Pembuatan Penelitian Kemasyarakatan Dalam Rangka Pemeriksaan pada Pengadilan Negeri;
  4. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU/4/22/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Prosedur Peradilan Anak Sipil;
  5. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU/9/2/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Prosedur Pengangkatan Anak;
  6. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU/10/2/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Penelitian Kemasyarakatan guna Melengkapi Data Bahan Pembinaan Tuna Warga Dalam Lembaga;
  7. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU/14/2/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Penelitian Kemasyarakatan Dalam Rangka Usaha Asimilasi dan Integrasi;
  8. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU/16/9/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Prosedur Pengasuhan Anak.

Melalui Keputusan Menteri Nomor M.02-PR.07.03-1987 tanggal 2 Mei 1987 diuraikanlah mengenai organisasi dan tata kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Bispa), yang kemudian ditindak lanjuti dengan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis diantaranya :

  1. Petunjuk Pelaksanaan Menteri Kehakiman RI Nomor E-39-PR.05.03 Tahun 1987 tentang Bimbingan Klien Pemasyarakatan.
  2. Petunjuk Teknis Menteri Kehakiman RI Nomor E-40-PR.05.03 Tahun 1987 tentang Bimbingan Klien Pemasyarakatan.

Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 di mana dalam undang-undang tersebut istilah Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak tidak disebutkan lagi melainkan diganti dengan istilah Balai Pemasyarakatan (Bapas) sesuai dengan bunyi pasal 1 bahwa “Balai Pemasyarakatan adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan”[13], oleh karena itu melalui Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PR.07.03-1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Nomor M.02-PR.07.03-1987, maka nomenklatur Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Bispa) diubah menjadi Balai Pemasyarakatan (Bapas) hingga saat ini.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, maka Balai Pemasyarakatan telah memiliki landasan hukum yang kuat dalam pelaksanaan tugasnya. Untuk melaksanakan peran Bapas sesuai dengan amanat kedua undang-undang tersebut maka keluarlah peraturan-peraturan pelaksana diantaranya :

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tantang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
  2. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02.PW.07.10 Tahun 1997 Tanggal 24 Desember 1997 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang Sidang;
  3. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 1998 tentang Tugas, Kewajiban dan Syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan;
  4. Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.PK.04.10-25 Tahun 1998 Tanggal 9 Maret 1998 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 tanggal 22 Juni 1999 tentang Kerja Sama dalam Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
  6. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Departeman Kesehatan, Departemen Agama, dan Kepolisian Nomor M. HH. 04.HM.03.02 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.

Bapas juga menjadi institusi di garis terdepan dalam usaha memberikan perlindungan khusus bagi anak yang bermasalah dengan hukum (ABH) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bersama-sama dengan Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Komisi Perlindungan Anak.

  1. Istilah dan Pengertian

Sebelum membahas mengenai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) dari Balai Pemasyarakatan, terlebih dahulu penulis ingin menjelaskan mengenai pengertian-pengertian dan istilah-istilah seputar Balai Pemasyarakatan diantaranya : pembimbing kemasyarakatan (PK), penelitian kemasyarakatan (Litmas), klien pemasyarakatan dan anak didik pemasyarakatan (Andikpas).

  1. Balai Pemasyarakatan

Menurut pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, “Balai Pemasyarakatan (Bapas) adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan”, namun dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tugas Balai Pemasyarakatan tidak hanya sebatas melaksanakan bimbingan namun juga melakukan pendampingan bagi anak yang bermasalah. Oleh karena itu penulis memiliki pengertian tersendiri mengenai Balai Pemasyarakatan yakni sebagai unit organisasi di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang melaksanakan tugas pembimbingan klien pemasyarakatan dan pendampingan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum.

Dalam Keputusan Menteri Nomor M.02-PR.07.03-1987, Balai Pemasyarakatan diklasifikasikan atas Bapas klas I dan Bapas klas II sesuai dengan lingkup beban kerjanya. Struktur organisasi Balai Pemasyarakatan (Bapas) klas I  dan Bapas klas II dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2 pada bagian lampiran skripsi ini.

  1. Balai Pemasyarakatan (Bapas) Klas I

Dalam struktur organisasi Bapas klas I, Kepala Bapas (Kabapas) dibantu oleh :

  • Kepala Sub Bagian Tata Usaha (Kasubag TU) mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Bapas, dalam melaksanakan tugasnya, Kasubag TU dibantu oleh :
    1. Kepala Urusan (Kaur) Kepegawaian mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian;
    2. Kepala Urusan (Kaur) Keuangan mempunyai tugas melakukan urusan keuangan;
    3. Kepala Urusan (Kaur) Umum mempunyai tugas melakukan urusan surat menyurat, perlengkapan dan rumah tangga.
  • Kepala Seksi Bimbingan Klien Dewasa (Kasi BKD) mempunyai tugas melakukan registrasi dan memberikan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja kepada klien dewasa, dalam melaksanakan tugasnya, Kasi BKD dibantu oleh :
  1. Kepala Sub Seksi (Kasubsi) Registrasi mempunyai tugas melakukan pencatatan, pendaftaran, daktiloskopi, statistik, analisa dan evaluasi;
  2. Kepala Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan (Kasubsi Bimkemas) mempunyai tugas melakukan bimbingan dan penyuluhan, membuat penelitian kemasyarakatan untuk bahan peradilan dan sidang Dewan Pembina Pemasyarakatan, kunjungan rumah klien, memanggil klien dalam rangka pembinaan perorangan dan kelompok, pembinaan klien pidana bersyarat, lepas bersyarat dan cuti menjelang lepas;
  3. Kepala Sub Seksi Bimbingan Kerja (Kasubsi Bimker) mempunyai tugas memberikan bimbingan kerja kepada bekas narapidana dan klien yang memerlukan.
  • Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak (Kasi BKA) mempunyai tugas melakukan registrasi dan memberikan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja kepada klien anak, dalam melaksanakan tugasnya, Kasi BKA dibantu oleh :
  1. Kepala Sub Seksi (Kasubsi) Registrasi mempunyai tugas melakukan pencatatan, pendaftaran, daktiloskopi, statistik, analisa dan evaluasi;
  2. Kepala Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan (Kasubsi Bimkemas) mempunyai tugas melakukan bimbingan dan penyuluhan, membuat penelitian kemasyarakatan untuk bahan peradilan dan Sidang Dewan Pembina Pemasyarakatan, kunjungan rumah klien, mengikuti sidang Dewan Pembina Pemasyarakatan pada Lapas, pembinaan klien pidana bersyarat, anak yang diputus hakim dikembalikan kepada orang tua atau walinya, anak asuh, anak pidana dan anak negara yang lepas bersyarat, anak pidana dan anak negara yang mendapat cuti menjelang lepas;
  3. Kepala Sub Seksi Bimbingan Kerja (Kasubsi Bimker) mempunyai tugas memberikan bimbingan kerja kepada bekas narapidana anak, anak negara dan klien anak yang memerlukan bimbingan lanjutan.
  1. Balai Pemasyarakatan (Bapas) Klas II

Dalam struktur organisasi Bapas klas II, Kepala Bapas (Kabapas) dibantu oleh :

  • Kepala Urusan Tata Usaha (Kaur TU) mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga;
  • Kepala Sub Seksi Bimbingan Klien Dewasa (Kasubsi BKD) mempunyai tugas melakukan registrasi, memberikan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja kepala klien dewasa, serta melakukan penelitian kemasyarakatan untuk bahan peradilan dan sidang Dewan Pembina Pemasyarakatan pada Lapas;
  • Kepala Sub Seksi Bimbingan Klien Anak (Kasubsi BKA) mempunyai tugas melakukan registrasi, memberikan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja kepala klien anak, serta melakukan penelitian kemasyarakatan untuk bahan peradilan dan sidang Dewan Pembina Pemasyarakatan pada Lapas.
  1. Klien pemasyarakatan, narapidana, dan anak didik pemasyarakatan (Andikpas)
  2. Klien pemasyarakatan

Dalam Undang-Undang Pemasyarakatan, klien pemasyarakatan diartikan sebagai seseorang yang berada dalam bimbingan Bapas[14], klien pemasyarakatan tersebut terdiri atas :

  • Terpidana bersyarat (Pi.B)[15] yaitu seorang yang dipidana berdasarkan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Akan tetepi ia tidak dibina di Lembaga Pemasyarakatan melainkan dikenakan hukuman bersyarat, denda dan lain-lain.[16]
  • Narapidana, anak pidana dan anak negara yang mendapat pembebasan bersyarat[17], cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. Pembebasan bersyarat (PB) adalah proses pembinaan narapidana dan anak pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan [18]. Cuti menjelang bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana dan anak pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik[19]. Cuti bersyarat (CB) adalah proses pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan bagi narapidana dan anak pidana yang dipidana 1 (satu) tahun ke bawah, sekurang-kurangnya telah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana.[20]
  • Anak negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial.
  • Anak negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial.
  • Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya.
  1. Narapidana dan anak didik pemasyarakatan (Andikpas)
    • Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas.
    • Anak didik pemasyarakatan adalah :
  2. Anak pidana yaitu anak yang berdasar putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
  3. Anak negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
  4. Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orangtua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Secara keseluruhan, klien pemasyarakatan, narapidana, dan anak didik pemasyarakatan (andikpas) disebut sebagai warga binaan pemasyarakatan (WBP).

  1. Anak yang bermasalah dengan hukum (ABH) / anak nakal

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, disebutkan bahwa :

  1. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
  2. Anak nakal adalah :
  3. anak yang melakukan tindak pidana
  4. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Meskipun dalam undang-undang ini secara jelas dinyatakan istilah “anak nakal” namun menurut hemat penulis istilah tersebut mengandung konotasi negatif bagi anak, sehingga penulis dalam skripsi ini menggunakan istilah lain yakni anak yang bermasalah dengan hukum (ABH).

Batasan umur seorang anak dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah telah berusia 8 tahun dan belum berusia 18 tahun saat melakukan tindak pidana. Dalam hal anak belum berusia 8 tahun, diduga melakukan tindak pidana maka terhadap anak tersebut tetap dapat di lakukan pemeriksaan oleh penyidik (Polisi) namun tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan anak, melainkan langsung diputuskan oleh pihak penyidik apakah anak tersebut akan dikembalikan kepada orang tuanya / wali / orang tua asuh atau diserahkan kepada Departemen Sosial[21], sedangkan dalam hal anak diduga melakukan tindak pidana dalam batasan usia delapan sampai delapan belas tahun dan diajukan ke sidang pengadilan anak setelah melampaui batas umur tersebut, tetap dapat diajukan ke sidang pengadilan anak sebelum anak tersebut mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.[22]

  1. Pembimbing kemasyarakatan (PK)

Tugas-tugas Bapas dilaksanakan oleh pegawai teknis yang disebut pembimbing kemasyarakatan (PK), Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada Pasal 1 ayat (11)[23] menjelaskan bahwa : “Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan yang melakukan bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan”. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan, Pasal 1 angka (6) bahwa[24] : “Pembimbing kemasyarakatan (PK) adalah petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pembimbingan klien di Balai Pemasyarakatan (Bapas)”. Kemudian sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1998 tanggal 03 Februari 1998 tentang Tugas, Kewajiban, dan Syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) : “Pembimbing kemasyarakatan adalah pegawai yang diangkat oleh menteri untuk melaksanakan tugas Balai Pemasyarakatan (Bapas) sebagaimana ketentuan Pasal 36 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak”.

Istilah penelitian kemasyarakatan (Litmas) dan pembimbing kemasyarakatan (PK) adalah istilah yang diciptakan oleh Sumarsono (dosen pada Akademi Ilmu Pemasyarakatan) dalam kertas kerja yang dibuat atas permintaan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sekarang Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tahun 1976 dalam Loka Karya Evaluasi Bimbingan Kemasyaratan dan Pengentasan Anak[25].

Beberapa istilah penganti pembimbing kemasyarakatan yang dikenal adalah sebagai berikut[26] :

  1. Social worker;
  2. Case worker;
  3. Probation officer;
  4. Reclassering ambtenar;
  5. Pekerja / petugas sosial.

Pembimbing Kemasyarakatan memiliki tugas dan kewajiban, tugas pembimbing kemasyarakatan (PK) adalah[27] :

  1. Membantu tugas penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara anak nakal;
  2. Menentukan program pembinaan bagi anak didik pemasyarakatan di Lapas Anak;
  3. Menentukan program perawatan tahanan di Rutan;
  4. Menentukan program bimbingan dan atau bimbingan tambahan bagi klien anak;
  5. Melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja klien pemasyarakatan;
  6. Memberikan pelayanan terhadap instansi lain dan masyarakat yang meminta data atau hasil penelitian kemasyarakatan klien tertentu;
  7. Mengkoordinasikan pekerja sosial dan pekerja sukarela yang melaksanakan tugas pembimbingan; dan
  8. Melaksanakan pengawasan terhadap terpidana anak yang dijatuhi pidana pengawasan, anak didik pemasyarakatan yang diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh yang diberi tugas pembimbingan.

sedangkan Kewajiban Pembimbing Kemasyarakatan adalah[28] :

  1. Menyusun laporan atas hasil penelitian kemasyarakatan;
  2. Mengikuti sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan;
  3. Mengikuti sidang pengadilan yang memeriksa perkara anak nakal ;
  4. Melaporkan setiap pelaksanaan tugas kepada Kepala Balai Pemasyarakatan.

Sumarsono A. Karim[29] menambahkan  bahwa sikap seorang pembimbing terhadap seseorang yang sedang dibimbing memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Empati, yaitu pembimbing perlu berada dan bersatu dengan yang dibimbing, merasakan apa yang dirasakan si terbimbing, membiarkan diri sendiri mengalami atau menyatu dalam pengalaman si terbimbing, bersikap manusiawi dan tidak bereaksi mekanis dan merasakan apa arti hakekat manusia;
  2. Tidak menggurui, yaitu mengingat si terbimbing cenderung tidak suka digurui, maka sikap pembimbing sebaiknya menunjukan perkawanan dan kebersamaan (with-ness) dalam layanan bimbingannya. Karena dengan sikap ini si terbimbing merasa dihargai dan tidak diremehkan;
  3. Mendengarkan aktif, yaitu memelihara perhatian yang terpusat pada si terbimbing, mendengarkan segala sesuatu yang diutarakan dan berusaha memahami seluruh pesannya (kata-katanya, perasaan dan perilakunya);
  4. Respek, yaitu sikap memandang si terbimbing secara positif, menghargai, hangat, pengertian dan sensitif terhadap hal-hal yang menyinggung perasaan si terbimbing (pikirkan, rasakan, baru ucapkan);
  5. Jangan bersikap konfrontasi mendadak, sikap menyerang dengan kata-kata, perasaan dan perilaku si terbimbing yang salah akan menumbuhkan kerenggangan hubungan. Pembimbing harus hati-hati jika ingin melakukan konfrontasi, perlu diperhatikan waktu dan cara “non-judgment” yang digunakan. Agar konfrontasi ini menimbulkan “mis-understanding” bagi si terbimbing, maka konfrontasi harus terdiri atas pengungkapan kontradiksi atau diskripsi klien dengan perilakunya dan pemberian komentar;
  6. Merepleksikan perasaan, pembimbing mencoba memahami perasaan si terbimbing dan mempercayai ekspresi oerasaan sendiri; dan
  7. Bersikap wajar, pembimbing perlu bersikap jujur, apa adanya, wajar, tidak dibuat-buat, terbuka dan konsisten dalam proses bimbingan.

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, Sumarsono juga menjelaskan bahwa sorang PK Bapas harus taat kepada kode etik PK antara
lain :

  1. Pegang teguh rahasia klien dan rahasia-rahasia lain yang berkaitan dengan klien;
  2. Hormati klien karena ia punya harga diri, ia adalah pribadi berbeda dengan pribadi lainnya;
  3. Terimalah / layani klien sebagaimana keberadaannya;
  4. Ikut sertakan klien dalam memecahkan masalah;
  5. Tempatkan kepentingan klien di atas kepentingan pribadi;
  6. Jangan bedakan pelayanan klien atas dasar SARA dan status sosialnya;
  7. PK hendaknya memperhatikan : sikap rendah hati, sederhana, sabar, tertib, percaya diri, tak mengenal putus asa, kreatif, tegas, berani karena benar;
  8. PK tidak egois tapi berusaha memahami kliennya, kesulitan-kesulitan klien, kekurangan-kekurangan klien dan kelebihan kliennya;
  9. Punya tanggung jawab pada Allah, masyarakat, negara dan bangsa, serta klien;
  10. Rela membantu klien

Dalam pelaksanaan tugasnya, pembimbing kemasyarakatan dibantu oleh petugas pembantu pembimbing kemasyarakatan (PPK). PPK adalah petugas teknis yang belum memenuhi syarat untuk diangkat menjadi PK, syarat-syarat[30] tersebut adalah :

  1. Pegawai negeri sipil yang berpendidikan serendah-rendahnya lulusan :

1). Sekolah menengah kejuruan bidang pekerja sosial.

2). Sekolah menengah umum atau kejuruan lainnya.

  1. Telah berpengalaman kerja sebagai pembantu pembimbing kemasyarakatan bagi lulusan :

1). Sekolah menengah kejuruan bidang pekerja sosial berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.

2). Sekolah menengah umum atau kejuruan lainnya yang berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun.

  1. Sehat jasmani dan rohani.
  2. Pangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda (Golongan/Ruang II/a).
  3. Telah mengikuti Pelatihan Teknis Pembimbing Kemasyarakatan (PTPK).
  4. Mempunyai minat, perhatian dan dedikasi dibidang kesejahteraan sosial.
  5. Semua unsur penilaian dalam DP3 bernilai baik dan tidak sedang dalam menjalani hukuman disiplin.
  6. Mempunyai karakter dan citra yang baik (tidak tercela).
  1. Tugas Pokok dan Fungsi Balai Pemasyarakatan

Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PR.07.03 Tahun 1987 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Bispa, Balai Pemasyarakatan (Bapas) bertugas : “memberikan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku”.

Untuk melaksanakan tugasnya tersebut, Bapas memiliki fungsi[31] :

  1. Melaksanakan Penelitian Kemasyarakatan untuk bahan peradilan;
  2. Melakukan registrasi klien pemasyarakatan;
  3. Melakukan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak;
  4. Mengikuti sidang peradilan di Pengadilan Negeri dan sidang Dewan Pembina Pemasyarakatan (melalui Kepmen Kehakiman No. M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang diubah menjadi Tim Pengamat Pemasyarakatan) di Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  5. Memberi bantuan bimbingan kepada bekas narapidana, anak negara, dan klien pemasyarakatan yang memerlukan; dan
  6. Melakukan urusan tata usaha Balai.

Berikut ini akan dipaparkan mengenai tugas pokok dan fungsi Bapas secara lebih terperinci.

  1. Penelitian Kemasyarakatan (Litmas)

Penelitian kemasyarakatan (Litmas) adalah kegiatan penelitian untuk mengetahui latar belakang kehidupan warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas).[32] Penelitian kemasyarakatan ini menjadi tugas pembimbing kemasyarakatan yang dilaksanakan untuk :

  1. Membantu tugas-tugas penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara anak nakal;
  2. Menentukan program pembinaan narapidana di Lapas dan anak didik pemasyarakatan di Lapas Anak;
  3. Menentukan program perawatan tahanan di Rutan;
  4. Menentukan program bimbingan dan atau bimbingan tambahan bagi klien pemasyarakatan

Isi laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) memuat data-data :

  1. Identitas (klien dan orang tua);
  2. Susunan keluarga klien;
  3. Masalah;
  4. Riwayat hidup klien;
  5. Pandangan klien (tentang masalah & masa depan)
  6. Keadaan keluarga klien (perkawinan orang tua, relasi sosial dalam keluarga/ masyarakat, kondisi ekonomi & keadaan rumah)
  7. Keadaan lingkungan masyarakat;
  8. Tanggapan keluarga, korban dan masyarakat;
  9. Kesimpulan & saran-saran

Gatot Supramono (2005 : 68) mengatakan laporan penelitian kemasyarakatan untuk bahan sidang pengadilan anak sekurang-kurangnya mengandung hal-hal sebagai berikut[33]:

  1. Data individu anak dan data keluarga anak yang bersangkutan
  2. Kesimpulan atau pendapat dari pembimbing kemasyarakatan.

Proses atau tahapan Penelitian Kemasyarakatan yang ditempuh oleh Pembimbing kemasyarakatan sebagai berikut :

  1. Pengumpulan data dengan cara memanggil, dan atau mengunjungi rumah dan tempat-tempat lain yang berhubungan dengan permasalahan klien.
  2. Untuk memperoleh data tersebut, pembimbing kemasyarakatan mempergunakan tehnik-tehnik sebagai berikut : pengamatan, wawancara, psikotes, mempelajari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan dan tehnik-tehnik lainnya.
  3. Setelah memperoleh data-data yang lengkap, pembimbing kemasyarakatan menganalisa dan menyimpulkan serta memberikan pertimbangan atau saran sehubungan dengan permasalahannya yang selanjutnya dituangkan dalam laporan peneltian kemasyarakatan.
  4. Jenis-jenis laporan penelitian kemasyarakatan adalah sebagai berikut :
    • Model L.1, laporan penelitian kemasyarakatan untuk sidang pengadilan negeri;
    • Model L.2, laporan penelitian kemasyarakatan untuk bimbingan Bapas lain;
    • Model L.3, laporan penelitian kemasyarakatan untuk bimbingan dalam dan luar Lembaga Pemasyarakatan (termasuk pemberian PB, CB, CMB, CMK, dan Asimilasi);
    • Model L.4, laporan penelitian kemasyarakatan untuk calon anak asuh;
    • Model L.5, laporan penelitian kemasyarakatan untuk orang tua atau wali calon anak asuh;
    • Model L.6, laporan penelitian kemasyarakatan untuk orang tua atau wali calon keluarga asuh;
    • Model L.7, laporan penelitian kemasyarakatan untuk orang tua atau wali calon anak asuh;
    • Model L.8, laporan penelitian kemasyarakatan untuk instansi lain;

Secara singkat, proses / langkah penelitian kemasyarakatan dapat dilihat dalam diagram[34] pada gambar 3 lampiran skripsi ini.

  1. Penelitian kemasyarakatan untuk sidang pengadilan anak

Penelitian kemasyarakatan (Litmas) untuk sidang pengadilan anak, yakni Litmas yang dimintakan oleh aparat penegak hukum lainnya dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan atau dari Balai Pemasyarakatan Lain[35] untuk proses penanganan anak yang bermasalah hukum dalam sistem peradilan pidana. Litmas ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan faktor anak hingga melakukan tindak pidana baik yang berasal dari diri anak (internal) seperti tingkah laku anak di keluarga, sekolah dan masyarakat, maupun faktor lingkungan yakni keluarga dan masyarakat (eksternal) seperti kebiasaan orang tua dalam mendidik anak dan sikap orang tua kepada anak. Litmas juga bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memutus perkara anak tersebut seperti status apakah anak masih sekolah atau tidak, kondisi sosial ekonomi keluarganya, kesanggupan orangtua untuk mendidik anak, tanggapan berbagai pihak terhadap anak termasuk masyarakat dan pemerintah setempat.

Dalam bagian akhir dari Litmas sidang pengadilan anak dikemukakan kesimpulan dan saran dari penelitian kemasyarakatan yang telah dilakukan. Kesimpulan dari penelitian kemasyarakatan tersebut berisi :

  • Nama dan catatan kelahiran (umur) anak serta ringkasan dari susunan keluarga anak yang bermasalah dengan hukum, contoh : “Klien bernama Agus Wijanarko bin Sudi Dadi, adalah anak ke empat dari sembilan bersaudara pasangan Bapak Sudi dan Ibu Usnayati. Klien masih muda usia, lahir pada tanggal 06 Desember 1993 dan saat melakukan tindak pidana klien masih berusia 17 tahun.
  • Status sekolah anak dan kegiatan lain diluar sekolah, contoh : Klien hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 1 SMK yakni di SMK Yabinka Cilegon (putus sekolah), kegiatan sehari-harinya adalah bekerja sebagai tukang parkir.
  • Masa penahanan anak dan tindak pidana yang disangkakan kepadanya.
  • Faktor penyebab anak melakukan tindak pidana.
  • Tanggapan orang tua, masyarakat, pemerintah setempat serta korban (bila ada) termasuk proses dan hasil mediasi atau musyawarah antara pihak anak dengan pihak korban (bila ada).

Saran yang disampaikan dalam Penelitian Kemasyarakatan untuk sidang pengadilan anak dapat berupa :

  • Rekomendasi mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada anak yang bermasalah hukum, baik berupa hukuman yakni : pidana penjara, pidana denda, atau piana bersyarat, ataupun berupa tindakan : dikembalikan kepada orang tuanya, diserahkan kepada negara menjadi anak negara, atau diserahkan kepada Kementerian Sosial ataupun lembaga sosial masyarakat seperti pesantren dan rumah rehabilitasi.
  • Rekomendasi agar anak tidak menjalani penahanan selama proses hukum berlangsung.
  • Pertimbangan-pertimbangan dan tingkat risiko terhadap setiap sanksi yang dijatuhkan kepada anak, misalnya : “Apabila klien menjalani pemidanaan yang terlalu lama akan berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis dan sosiologis klien, serta klien terancam berhenti sekolah.

Litmas sidang pengadilan anak ini sangat besar peranannya dalam proses pendampingan terhadap anak bermasalah hukum, tanpa keberadaan Litmas ini putusan yang dijatuhkan oleh hakim kepada anak “batal demi hukum”[36].

Secara lebih sederhana, proses pembuatan laporan peneliltian kemasyarakatan untuk sidang pengadilan anak dapat dilihat pada diagram[37] pada gambar 4 lampiran skripsi ini.

  1. Laporan penelitian kemasyarakatan untuk bimbingan dalam dan luar Lembaga Pemasyarakatan

Litmas untuk bahan pembinaan berupa penelitian tentang perkembangan warga binaan pemasyarakatan (WBP) selama berada di dalam Lapas / Rutan, termasuk di dalamnya pembinaan apa saja yang telah diterima oleh WBP, sikap dan kepatuhan WBP terhadap peraturan di dalam Lapas / Rutan, keterampilan / pelatihan apa yang telah didapatkan oleh WBP, relasi sosial WBP dengan sesama WBP lainnya, serta relasi WBP dengan keluarganya[38].

Dalam bagian akhir dari Litmas dikemukakan kesimpulan dan saran dari penelitian kemasyarakatan yang telah dilakukan. Kesimpulan dari penelitian kemasyarakatan tersebut berisi :

  • Ringkasan perkembangan pembinaan WBP selama berada di dalam Lapas / Rutan.
  • Masa pidana yang telah dijalani.
  • Untuk Litmas pembinaan luar lembaga yakni pengusulan PB dan CMB disertakan pula tanggapan keluarga, masyarakat, pemerintah setempat serta kesanggupan mereka untuk menerima kembali WBP di masyarakat.

Saran yang disampaikan dalam Penelitian Kemasyarakatan ini antara lain  berupa :

  • Rekomendasi mengenai jenis program pembinaan untuk masa pembinaan selanjutnya.
  • Untuk Litmas pembinaan luar lembaga rekomendasi yang disampaikan berupa disetujui atau tidaknya usulan PB / CMB WBP beserta pertimbangannya.
  1. Penelitian kemasyarakatan untuk instansi lain ;

Penelitian kemasyarakatan ini diantaranya termasuk penelitian kemasyarakatan untuk orang tua atau wali calon anak asuh, penelitian kemasyarakatan untuk orang tua atau wali calon keluarga asuh.

  1. Registrasi klien pemasyarakatan

Balai Pemasyarakatan melakukan pencatatan / registrasi klien pemasyarakatan dalam setiap proses pembimbingannya, pencatatan / registrasi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan penerimaan dan pendaftaran klien pemasyarakatan yang dilakukan sesuai dengan petunjuk teknis Menteri Kehakiman Nomor E.40-PR.05.03 Tahun 1987 tanggal 8 September 1987. Pendaftaran yang dilakukan meliputi :

  1. Penerimaan dan penelitian surat-surat berkas klien pemasyarakatan;
  2. Penerimaan klien dari jaksa atau petugas Lapas / Rutan / Bapas lain dan dibuat berita acara serah terima;
  3. Pencatatan identitas dan surat-surat dalam buku daftar sesuai dengan status klien[39]
  4. Pencatatan kartu bimbingan, pengambilan foto klien dan sidik jari;
  5. Menghadapkan klien kepada pembimbing kemasyarakatan.

Secara singkat, proses pendaftaran klien pemasyarakatan dapat dilihat pada diagram[40] yang terdapat pada gambar 5 lampiran skripsi ini.

  1. Pembimbingan klien pemasyarakatan

Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan[41]. Tujuan pembimbingan[42] yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakaatan antara lain :

  1. WBP / klien pemasyarakatan dapat mengenal / memahami kepribadiannya dan lingkungan di mana ia berada (di dalam LP / Luar LP / keluarga dan lingkungan masyarakat). Dalam arti memahami kelebihan-kelebihan dan kekurangan / kelemahan diri dan pemahaman terhadap kondisi lingkungan mana yang mampu ia lakukan dan mana yang tidak mungkin ia capai.
  2. WBP / klien pemasyarakatan dapat menerima keadaan dirinya dan lingkungan secara positif dan dinamis.
  3. Klien mampu mandiri dalam mengambil keputusan
  4. Pengarahan diri WBP / klien pemasyarakatan
  5. Perwujudan diri WBP / klien pemasyarakatan

Prinsip-prinsip bimbingan[43] yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakaatan antara lain :

  1. Bimbingan itu selalu berhubungan dengan sikap dan perilaku WBP.
  2. Dalam proses bimbingan perlu dikenal dan dipahami oleh pembimbing tetang perbedaan individu WBP, agar dalam memberi bimbingan dapat mengenai sasaran dan kebutuhan individu yang dibimbing.
  3. Bimbingan diberikan dengan maksud agar WBP yang dibimbing mampu membantu dan menuntun dirinya sendiri dalam menghadapi permasalahan hidup dan kehidupannya septimal mungkin (self directing & to help people to help them selfes).
  4. Bimbingan yang diberikan harus terpusat pada individu yang dibimbing bukan terpusat pada permasalahan individu yang membimbing.
  5. Jika permasalahan individu tidak dapat diselesaikan oleh pembimbing, maka perlu adanya kerja sama dengan ahli lain atau lembaga lain yang lebih mampu (kompeten) menangani permasalahan tersebut.
  6. Dalam pembimbingan perlu adanya upaya pendahuluan dalam mengidentifikasi masalah dan kebutuhan individu yang dibimbing, untuk mempermudah pemahaman dan penerimaan diri individu yang dibimbing. Sehingga dalam pengarahan dan perwujudan sesuai dan tepat pada sasaran.
  7. Bimbingan itu harus bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan individu yang dibimbing dan kebutuhan masyarakat a\yang serba ragam.
  8. Pembimbing harus memiliki kualifikasi kepribadian, pendidikan, pengalaman, kematangan dan kemampuan yang diharapkan oleh individu yang dibimbing dan masyarakat.
  9. Pembimbing harus patuh pada kode etik pembimbingan kemasyarakatan.
  10. Individu yang dibimbing harus diberikan kebebasan dan penghormatan dalam mengungkapkan dirinya. Di sini pembimbing hanya bersikap sebagai fasilitator dalam proses pembimbingan.
  11. Proses pembimbingan adalah proses belajar atau berorientasi belajar (learning oriented) yang dilaksanakan dalam lingkungan sosial.
  12. Keputusan terakhir dalam proses pembimbingan ditentukan oleh individu yang dibimbing. Pembimbing tidak memaksakan sesuatu keputusan terakhir kepada individu yang dibimbing.

Dalam proses pembimbingan, pembimbing kemayarakatan juga harus taat pada azas-azas bimbingan dan penyuluhan[44] antara lain :

  1. Azas kerahasiaan (the principle of confidenciality), pembimbing kemasyarakatan hendaknya patuh menjaga informasi-informasi yang sifatnya rahasia tentang individu yang dibimbing.
  2. Azas sukarela, baik pembimbing maupun yang dibimbing harus memiliki modal sukarela.
  3. Azas keterbukaan, pembimbing maupun yang dibimbing sebaiknya saling terbuka.
  4. Azas kekinian, layanan bimbingan sebaiknya menangani permasalahan yang dihadapi si terbimbing pada saat ini / sekarang.
  5. Azas kegiatan, bimbingan dan penyuluhan bukan hanya bertatap muka dan berwawancara saat itu.
  6. Azas kenormatifan, usaha bimbingan harus sesuai dengan norma yang dianut oleh yang dibimbing dan sesuai dengan norma masyarakat.
  7. Azas keterpaduan, baik aspek-aspek individu yang dibimbing maupun isi dan proses layanan bimbingan sebaiknya terpadu, jangan ada aspek yang bertentangan dan jangan pula isi dan layanan bertolak belakang dengan lainnya.
  8. Azas kedinamikan, bimbingan bertujuan supaya adanya perubahan yang terjadi pada diri si terbimbing, yaitu perubahan tingkah laku ke arah yang lebih bermakna.
  9. Azas keahlian, keberhasilan layanan bimbingan banyak ditentukan oleh bagaimana keahlian pembimbing, sehingga sangat dituntut kepada pembimbing agar mau berlatih dan memperluas pengalamannya.

Proses pembimbingan terhdap klien pemasyaraktan oleh Bapas dilakukan secara bertahap yakni :

  1. Tahap awal
  • Penelitian kemasyarakatan.
  • Menyusun rencana program bimbingan.
  • Pelaksanaan program bimbingan guna mempersiapkan anak untuk mengikuti program diversi di luar Lapas.
  • Penilaian pelaksanaan program tahap awal dan penyusunan rencana bimbingan tahap lanjutan.
  1. Tahap lanjutan
  • Pelaksanaan program bimbingan.
  • Penilaian pelaksanaan program tahap lanjutan dan penyusunan rencana bimbingan tahap akhir.
  1. Tahap akhir
  • Pelaksanaan program bimbingan.
  • Meneliti dan menilai keseluruhan hasil pelaksanaan program bimbingan.
  • Mempersiapkan klien mengakhiri masa bimbingan tambahan (after care).

Adapun Jenis bimbingan yang diberikan kepada klien meliputi : Pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, bimbingan dan penyuluhan perorangan maupun kelompok, pendidikan formal, kepramukaan, pendidikan ketrampilan kerja, pendidikan kesejahteraan keluarga, psikoterapi, kepustakaan, psikiatri, terapi, dan berbagai usaha penyembuhan klien. Secara singkat, proses pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan dapat dilihat pada diagram sebagaimana terdapat pada gambar 6 lampiran skripsi ini.

  1. Sidang Pengadilan Negeri dan Sidang TPP

Pembimbing kemasyarakatan (PK) Bapas wajib hadir mendampingi anak yang bermasalah dengan hukum dalam persidangan untuk menyampaikan hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas), jika Bapas tidak hadir maka putusan sidang batal demi hukum[45]. Landasan hukum pendampingan anak yang bermasalah dengan hukum antara lain adalah :

  1. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak : “Dalam perkara anak nakal sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 2 penuntut umum, penasihat hukum, pembimbing kemasyarakatan, orang tua, wali, atau orang tua asuh dan saksi wajib hadir dalam sidang anak”.
  2. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak : “Putusan wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas), apabila tidak dipenuhi batal demi hukum”.
  3. Pasal 64 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : “Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini”.
  4. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : “Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.
  5. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia : “Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum”.

Pendampingan terhadap anak yang bermsalah dengan hukum (ABH) selain telah diatur dalam peraturatan perundang-undangan nasional, juga diakui oleh dunia internasional, sebagai mana disebutkan dalam United Nation Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Administrasi Peradilan bagi Remaja) / Resolusi PBB Nomor 40/33 tanggal 29 November 1985 (“The Beijing Rules”)  :

  1. Angka 16 : “Dalam semua kasus terkecuali kasus yang melibatkan pelanggaran hukum ringan, sebelum pihak berwenang secara hukum menjatuhkan putusan, latar belakang, dan keadaan dimana remaja itu hidup (Litmas) akan diselidiki secara benar sehingga mempermudah pengambilan keputusan hukum dari perkara itu oleh pihak berwenang secara hukum”[46]
  2. Angka 13.1 : “Penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir dan untuk jangka waktu sesingkat mungkin”[47].
  3. Angka 13.2 : ”Di mana mungkin, penahanan sebelum pengadilan akan diganti dengan langkah-langkah alternatif, seperti pengawasan secara dekat, perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga atau pada suatu tempat atau rumah pendidikan”[48].

Dalam persidangan, PK Bapas juga memberikan arahan-arahan kepada anak yang bermasalah hukum (ABH) dalam hal anak tersebut merasa bingung saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh hakim atau jaksa. Selain kepada ABH, PK Bapas juga memberikan arahan kepada orang tua ABH tentang proses sidang yang dijalani oleh anaknya. Secara sederhana, proses pendampingan ABH dalam sidang pengadilan anak dapat dilihat dalam bagan yang terdapapat pada gambar 7 lampiran skripsi ini.

Selain mengikuti sidang di Pengadilan Negeri, Balai Pemasyarakatan juga menyelenggarakan sidang tim pengamat pemasyarakatan (TPP) di-intern Bapas. Sidang TPP Bapas adalah sidang yang dilaksanakan oleh tim pengamat pemasyarakatann untuk membahas hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas) dan rekomendasi yang akan disampaikan sebelum Litmas disahkan oleh Kepala Bapas dan dikirim kepada instansi yang mengajukan permintaan. Anggota tim pengamat pemasyarakatan adalah para PK Bapas dan Kasubsi Bimbingan Klien Dewasa (BKD) serta Kasubsi Bimbingan Klien Anak (BKA). Selain itu, Bapas juga mengikuti sidang TPP yang diadakan di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (TPP Kanwil) dan di Lapas / Rutan (TPP Lapas / Rutan) yang dilaksanakan untuk menentukan program pembinaan WBP baik untuk pembinaan dalam lembaga maupun pembinaan luar lembaga seperti untuk persetujuan usulan PB, CB, CMB dan asimilasi. Dalam uraian yang lebih sederhana, proses sidang TPP dapat dilihat pada diagram sebagaimana terdapat pada gambar 8 lampiran skripsi ini.

  1. Melaksanakan urusan tata usaha

Kegiatan ketatausahaan Balai Pemasyarakatan meliputi administrasi perkantoran Bapas, melaksanakan fungsi kepegawaian, keuangan dan lain sebagainya seperti pengiriman surat, penganggaran biaya, pelaksanaan anggaran dan kegiatan perkantoran lainnya.

Bapas melaporkan kegiatannya secara rutin terdiri atas laporan bulanan, laporan triwulan, laporan semester dan laporan tahunan yang disampaikan ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM setempat.

[1] Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Sejarah Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2004, h. 38.

[2] http://translate.google.com/#auto|id|reclassering diakses 25 Mei 2010 11.00 WIB.

[3] R.  Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1998, h.18.

[4] Ibid., h. 42.

[5] Ibid., h. 46.

[6] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, h. 12.

[7] Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. V, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, h. 401.

[8] Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Op. Cit., h. 52.

[9] Ibid., h.53

[10] Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Bunga Rampai Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 2002, h. 99.

[11] Ibid., h. 101.

[12]Direktorat Jenderal Pemasyaraktan, Himpunan Perundang-undangan Tentang Pemasyarakatan Bidang Pembimbingan, Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 2003, h. 188.

[13] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 angka 4.

[14] Ibid., Pasal 1 angka 9.

[15] Pasal 14 a (1) KUHP.

[16] Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 98.

[17] Pasal 15 (1) KUHP.

[18] Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Repubuk Indonesia Nomor M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat, Pasal 1 angka 2.

[19] Ibid., Pasal 1 angka 3.

[20] Ibid., Pasal 1 angka 4.

[21] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
Pasal 5.

[22] Ibid, Pasal 4.

[23] Ibid, Pasal 1.

[24] Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 1.

[25] Sumarsono A. Karim, Metode dan Teknik Penelitian Kemasyarakatan, Akademi Ilmu Pemasyaraktan, Jakarta, 2003, h.vi.

[26] Ibid., h. 16.

[27] Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.01-PK.04.10 Tahun 1998, Pasal 2.

[28] Ibid.

[29] Sumarsono A. Karim, Bimbingan dan Penyuluhan Warga Binaan Pemasyarakatan, Badan Pembinaan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM, Jakarta, 2009, h.19.

[30] Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.01-PK.04.10 Tahun 1998 tentang Tugas, Kewajiban dan Syarat-Syarat Bagi Pembimbing Kemasyarakatan, Pasal 4.

[31] Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PR.07.03 Tahun 1987.

[32] Republik Indonesia, Op.cit, Pasal 1 angka 3.

[33] Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1998, h.68.

[34] Balai Pemasyarakatan Klas I Jakarta Pusat, Buku Pedoman Pelayanan Penelitian Kemasyarakatan, Pembimbingan, Pengawasan, dan Pendampingan, Jakarta:2009, Hal.67.

[35] Litmas dimintakan oleh Bapas Lain yang menangani perkara ABH yang orang tuanya tinggal di luar wilayah Bapas tersebut, contoh : seorang anak melakukan tindak pidana di Jakarta sementera orang tua anak tersebut tinggal di Serang, maka pihak Bapas Jakarta akan meminta kepada Bapas Serang untuk meneliti keadaan orang tua anak tersebut yang tinggal di Serang.

[36] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Pasal 59 ayat 2.

[37] Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Prosedur Tetap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, Jakarta, h. 216.

[38] Relasi WBP adalah hubungan WBP dengan keluarganya seperti seberapa sering keluarga WBP menjenguk WBP di Lapas / Rutan.

[39] Status klien yang dimaksud adalah Pidana Bersyarat, Anak Kembali ke Orang tua  Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat  atau Cuti Menjelang Bebas.

[40] Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Prosedur Tetap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan , Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 2003, h. 216.

[41] Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 1 angka 2.

[42] Sumarsono A. Karim, Op. Cit. h.11.

[43] Ibid., h.11.

[44] Ibid., h.16

[45]Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2007, h. 20.

[46] Andreas Ljungholm, Indah P. Atmaritasari, Compilation of International Human Right Instrument and Documents Related to Correctional Service Practise,  Raoul Wallenberg Institute, Swedia, 2006, h. 384.

[47] Ibid., h.376

[48] Ibid., h.377.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *