Mengenal Lembaga Penempatan Anak Sementara

Tulisan ini merupakan ringkasan Laporan Akhir Pengkajian Hukum Lembaga Penempatan Anak Sementara dari Tim Kerja Pengkajian Hukum Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Ri Tahun 2013

  1. Realitas Penahanan Anak Saat Ini

Diskusi tentang masalah penahanan anak saat ini, pada dasarnya tidak dapat lepas dari konsep dasar tentang lembaga penahanan. Penahanan dalam konteks hukum acara pidana pada dasarnya adalah suatu upaya paksa yang dimiliki oleh otoritas penegak hukum yaitu polisi, penunut umum, dan hakim. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyatakan, bahwa “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan pendapatnya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” (vide Pasal 1 butir 21 KUHAP).

Ketentuan umum tentang lembaga penahanan pada dasarnya diatur dengan sangat rigit dalam ketentuan ini. Sahnya penahanan bersifat obyektif dan mutlak, artinya undang-undang membatasi secara tegas terhadap delik-delik yang mana yang tersangkanya dapat dilakukan penahanan. Mutlak karena pasti, tidak dapat diatur-atur oleh penegak hukum. Sedangkan perlunya penahanan bersifat relatif, karena yang menentukan kapan dipandang perlu diadakan penahanan tergantung penilaian pejabat yang akan melakuakan penahanan. Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal yang fatal bagi penahanan. Dalam KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam Pasal 95 disamping kemungkinan digugat pada praperadilan. Ganti rugi dalam masalah salah menahan juga telah menjadi ketentuan universal. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga telah melakukan tindak pidana berdasarkan alat bukti yang cukup, didasari dengan adanya kekhawatiran seorang tersangka atau terdakwa:

  1. Melarikan diri;
  2. Merusak atau menghilangkan alat bukti; dan
  3. Mengulang tindak pidana tersebut.

Mengingat hal tersebut merupakan aturan umum yang berlaku bagi orang dewasa maupun anak-anak selayaknya pembekuan lembaga ini bagi anak seharusnya lebih bersifat khusus yang disertai dengan pertimbangan yang lebih bijaksana dibandingkan dengan proses penahanan bagi pelaku tindak pidana bagi orang dewasa. Mengingat hal tersebut maka Pasal 21 ayat dan ayat (4) huruf a KUHAP jo Pasal 45 ayat (1) Undang- Undang Nomor. 3/1997 yaitu:

“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih”.

Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Sementara jangka waktu penahanan anak sebagaimana diatur oleh Undang- Undang Nomor. 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:

Dalam beberapa kasus penerapan terhadap ketentuan diatas pada dasarnya banyak menimbulkan pro kontra khususnya berkaitan dengan batasan umur anak yang dapat ditahan. Pro kontra ini timbul mengingat lembaga penahanan khusus anak hingga akhir tahun 2010 tidak dimiliki oleh Indonesia. Dalam prakteknya, masa penahanan ditempatkan oleh anak dalam sel orang dewasa. Dalam beberapa praktek memang anak ditempatkan secara terpisah dari orang dewasa, namun tak jarang pula anak ditempatkan secara bersama-sama dengan tahanan dewasa. Catatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan hingga september 2013 tercatat jumlah tahanan anak-laki-laki sebanyak 1.781 orang dan tahanan anak wanita 60 orang di seluruh Indonesia.

Dalam perkembangannya ketentuan tentang penahanan pada dasarnya berdampingan dengan ketentuan tentang batasan usia Anak yang dapat diproses pidana, Mahkamah Konstitusi telah menaikkan batas minimum anak yang dapat diproses secara pidana dari 8 tahun menjadi 12 tahun ( Putusan MK No 1/PUU-VIII/2010). Dalam bagian pertimbangan Putusan MK No 1/PUU-VIII/2010 dinyatakan (MK;2010;148):

Menyatakan frasa,”… 8 (delapan) tahun…,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “…8 (delapan) tahun…” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “…12 (dua belas) tahun…”;

Menyatakan frasa,”… 8 (delapan) tahun…,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “…8 (delapan) tahun…” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “…12 (dua belas) tahun…”.

Batas usia anak yang dapat dilakukan penahanan dan kondisi penahanan yang disamakan dengan orang dewasa pada dasarnya merupakan kelemahan yang ada dalam ketentuan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 serta Undang- Undang Nomor 3 tahun 1997 sehingga selayaknya perlu disempurnakan.

Penyempurnaan ini dilakukan dengan lahirnya LPAS dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012. Dimana terdapat filosofi yang berbeda dengan orang dewasa. Semangat bahwa peradilan pidana merupakan upaya terakhir dalam pen1anganan anak yang berkonflik dengan hukum juga harus mendasari konsep kerja dari LPAS.

  • Implementasi Lembaga Penempatan Anak Sementara

Implementasi LPAS bukanlah bangunan penjara berjeruji besi, karena penjara adalah ujung akhir dari pemidanaan yang berorientasi pembalasan. Rancang bangun LPAS merupakan implementasi dari konsep keadilan restoratif yang berorientasi pada pemulihan hubungan korban dan pelaku secara konstruktif, penanaman rasa tanggung-jawab, penyesalan, empati pelaku pada korban, serta pembinaan yang menyiapkan pelaku siap dan mampu bersosialisasi dan menjadi lebih baik saat kembali ke keluarga dan masyarakat. Konsekuensi dari perbedaan orientasi ini adalah tata ruang dan fasilitas, tata-kelola, dan personalia LPAS perlu didesain sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda dengan konsep penjara.

Banyak pemikiran yang berkembang seputar bagaimana LPAS ini diimplementasikan. Ada yang berpandangan bahwa idealnya merupakan bangunan yang ada dalam sebuah lokasi yang didesain berdasar konsep rancang-bangun ”sistem peradilan pidana yang terintegrasi”. Ada yang berpandangan memanfaatkan panti-panti sosial milik Kementerian atau Dinas Sosial, karena dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak pun dinyatakan dalam pasal 33 ayat (5), bahwa jika LPAS belum ada, anak dapat ditempatkan di LPKS. Ada pula yang berpandangan memanfaatkan shelter, rumah dinas pejabat yang relevan, dipandang representatif dan memenuhi syarat. Bagi daerah yang sudah memiliki insfrastruktur perlindungan ABH yang baik, LPAS bisa langsung berada di lokasi yang sudah ada, dengan perubahan konsep dan implementasinya sesuai dengan semangat dan norma yang ada dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Jangka waktu penempatan anak di LPAS perlu menjadi pertimbangan tersendiri bagaimana model pengasuhan, pembimbingan dan pendampingan yang perlu dilakukan agar hak anak terlindungi, anak memahami kewajibannya, serta siap berubah menjadi pribadi yang jauh lebih baik dan bertanggungjawab. Anak berada di LPAS dalam waktu maksimal 7 hari dan dapat diperpanjang paling lama 8 hari untuk kepentingan penyidikan, dan maksimal 5 hari dan dapat diperpanjang paling lama 5 hari untuk untuk kepentingan penuntutan, dan maksimal 10 hari dan dapat diperpanjang paling lama 15 hari untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Total dari waktu yang mungkin dijalani anak di LPAS ini, hendaknya menjadi acuan bagaimana tata-kelola LPAS dirancang secara tepat dan efektif agar waktu-waktu yang ada dapat semaksimal mungkin digunakan untuk mengawal dan mendorong terjadinya keadilan restoratif dan diversi. Dengan waktu yang ada, LPAS juga dapat berfungsi sebagai tempat pengasuhan alternatif, tempat pembimbingan, pendidikan, pendampingan, dan tempat yang melindungi hak-hak anak. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi pengelolaan LPAS dan tenaga-tenaga yang terlibat di dalamnya.

Selama anak berada di LPAS, harus dipastikan hak-hak anak tetap terpenuhi, baik hak sebagai ABH, maupun hak anak secara umum. Akses anak untuk bertemu keluarga dan melakukan proses-proses pemulihan hubungan dengan korban juga perlu dibuka. Pada saat yang sama, anak juga dipahamkan akan kewajiban-kewajibannya, sebagaimana terdapat dalam pasal 19 Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni :

  1. Menghormati orang tua, wali, dan guru;
  2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
  3. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. melaksanakan etika dan akhlak mulia.

Gambaran tentang implementasi LPAS yang dikembangkan berdasarkan kerangka konsep dan implementasi sebagaimana di atas pada akhirnya meniscayakan perlunya LPAS menjadi tempat yang berfungsi sebagai ”Rumah Pengasuhan Alternatif”, ”Rumah Pembimbingan”, dan sekaligus ”Rumah Perlindungan dan Pendampingan” yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat anak tinggal. Radius yang tidak terlalu jauh ini penting agar akses bertemu keluarga, pendamping hukum, pendamping psikologis, pembimbing kemasyarakatan, rohaniawan dan lain-lain dapat dibuka dengan mudah dalam rangka menjamin berjalannya proses keadilan restoratif dan diversi, serta penyiapan anak untuk re-integrasi sosial jika proses hukum tidak berlanjut ataupun menjadi tempat pendampingan hukum kalau proses hukum selanjutnya harus terjadi. LPAS, dengan demikian perlu ada di setiap Kabupaten/Kota, atau minimal satu LPAS untuk beberapa Kabupaten/Kota yang letaknya berdekatan.

              Fungsi LPAS sebagai ”Rumah Pengasuhan Alternatif”, ”Rumah Pembimbingan”, dan ”Rumah Perlindungan dan Pendampingan” ini pada gilirannya perlu dijabarkan lebih lanjut dalam tata-ruang dan fasilitas, tata-kelola, dan personalia.

  • Kesimpulan dan Saran
  • Kesimpulan
  • Penahanan anak pada saat ini belum mencerminkan perlindungan hukum yang optimal terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, karena sebagaian besar kasus pidana anak atau anak yang berhadapan dengan hukum masih dilakukan penahanan anak yang dicampur tahanan orang dewasa dengan alasan telah dipisah dengan tahanan orang dewasa atau di lingkungan tahanan orang dewasa. Seharusnya sejak awal ada kasus anak di tingkat kepolisian baik itu karena ada laporan atau pengaduan atau tertangkap dalam kasus pidana anak yang berhadapan dengan hokum tidak perlu dilakukan penahanan anak. Sejak awal ditingkat penyidikan, polisi seharusnya sudah tahu bahwa anak sangat rentan dengan tindakan hokum, sehingga tidak perlu dilakukan penahanan anak yang akan mempengaruhi jiwanya (psikis), mental, dan social dalam pertumbuhan dan perkembangannya anak kelak.
  • Konsep ideal pembentukan LPAS harus didesain sebagai tempat yang memastikan adanya perlindungan khusus bagi anak yang ditahan selama proses peradilan dengan tetap memenuhi hak-haknya, baik itu kebutuhan jasmani, rohani, dan social. Oleh karena itu LPAS didesain menyerupai kenyamanan tempat, rumah, dan lingkungan anak. Sarana dan prasana juga disesuaikan dengan kebutuhan anak. LPAS tersebut, dibuat di setiap Kabupaten atau Kota atau setidak-tidaknya disetiap Provinsi. Personal atau petugas harus memahami masalah anak, mempunyai dedikasi terhadap anak, dan mempunyai perhatian terhadap anak. Anak harus betul-betul diperlakukan dengan penuh kasih sayang, dibimbing, dididik, diperhatikan serta dipenuhi sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga kelak menjadi insan yang baik dan berguna bagi, dirinya, keluarganya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
  • Saran
  • Sejak awal polisi sebagai penyidik di dalam menangani kasus pidana anak atau anak yang berhadapan dengan hukum harus memahami masalah anak, sehingga tidak perlu sampai melakukan penahanan. Penyelesaian kasus pidana anak harus mengacu pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menekankan pada restorative justice dan diversi.
  • Di dalam situasi dan kondisi pada saat ini, sehingga pembentukan LPAS di setiap Kabupaten, Kota, dan atau Provinsi tidak mungkin dilaksanakan, maka sebaiknya memanfaatkan gedung-gedung pemerintah/swasta yang masih bagus yang tidak menyatu dengan kantor penegak hukum dan didesain sesuai dengan kebutuhan dan kenyaman anak atau tempat-tempat sosial lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *