RUU Pemasyarakatan dan Kekuasaan Konstruktif

Jakarta – Dunia pemasyarakatan kembali menjadi sorotan. Kali ini bukan persoalan lapas mewah, over kapasitas, narkoba di dalam lapas, ataupun narapidana yang kabur, melainkan RUU yang menuai banyak protes lantaran dianggap memanjakan narapidana yang sedang menjalani hukuman.

Tersiar kabar, narapidana bisa mengajukan cuti dan berekreasi keluar lapas, asal dengan pengawalan petugas. Sementara pengertian normatif yang tertera di PP No 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak bagi warga binaan pemasyarakatan tepat di pasal 7 ayat (1) secara substansial menjelaskan jenis rekreasi yang dimaksud hanya di dalam lapas seperti olahraga, pertunjukan seni, dan menonton televisi.
Sentilan di jagat virtual tidak dapat dihindari. Alih-alih bertujuan memperbaiki skema penghukuman (penintinary), justru menuai banyak protes yang beragam dari masyarakat. Hingga akhirnya penundaan pengesahan RUU Pemasyarakatan.
Pada dasarnya dunia kepenjaraan dan penghukuman memang selalu menarik perhatian masyarakat. Sebab, di sana (pemenjaraan/penghukuman) bersemayam rasionalitas yang digadang-gadang mampu melahirkan keadilan. Rasionalitas terhadap penghukuman seringkali dikaitkan dengan kekuasaan negara.

Mengacu pada pandangan Sutherland (1992), reaksi terhadap sebuah kejahatan haruslah berpedoman pada administrasi yang terukur, dan pemberian penderitaan kepada narapidana dilakukan oleh aparat negara, penghukuman yang rasional tepatnya dilaksanakan oleh negara.

Lebih jauh, Ikraq Sulhin dalam Diskontinuitas Penologi Punitif (2018) menjelaskan kekuasaan negara untuk menghukum memerlukan ilmu pengetahuan yang dapat membenarkan pemberian penderitaan tersebut. Sederhananya, memberikan penghukuman dan penderitaan kepada orang yang bersalah adalah suatu hal yang rasional dan terlegitimasi oleh undang-undang.
Terkait RUU Pemasyarakatan yang menuai polemik hingga penundaan dan terlepas dari segala bentuk permasalahannya, yang pasti kita menyaksikan pengetahuan dan kekuasaan akan selalu menopang atau bersinggungan satu sama lain. Entah bisa dikatakan pengetahuan atau tidak, sejauh yang kita pahami seorang narapidana harus dipenjarakan. Memberinya keringanan adalah penghinaan untuk masyarakat, kurang lebih seperti itu.

Sudut pandang seperti itu tentunya menutup ruang bagi diskursus lain. Sebab, klaim kebenaran ada pada rasionalitas menghukum seberat-beratnya. Kita bisa melihat bagaimana semangat menghukum dan memenjarakan muncul sebagai bagian dari diskursus sejarah kita. Sebut saja, Orde Baru adalah rezim yang sangat akrab dengan kekuasaan “memenjarakan”.

Tepatnya, hukuman baik itu penjara, denda, ataupun ganti rugi sangat akrab dengan pertalian kekuasaan yang ditopang oleh rasionalitas dan didukung oleh regulasi. Pertanyaan kita cukup sederhana, apakah RUU Pemasyarakatan sebagai produk hukum mampu melahirkan kekuasaan yang konstruktif dalam dunia penghukuman?

Mencegah Malpraktik

Menyoal RUU Pemasyarakatan tentu kita berharap kekuasaan negara di dalam Lembaga Pemasyarakatan berjalan pada jalur yang lebih konstruktif. Sebagaimana impian yang diusung para tokoh utilitarianisme dan diperbaharui melalui paham positivis, pola penghukuman haruslah memiliki basis yang reformatif dengan tujuan perubahan perilaku.

Perubahan perilaku sebagaimana yang diungkap Iqrak Sulhin (2018) dicapai dengan perlakuan korektif berdasarkan analisis biologis, psikologis, sosiologis, dan kriminologis demi mengubah tendensi kriminalitas pada diri seseorang melalui program rehabilitasi dan reformasi.

Sejauh ini menurut pengamatan saya UU No 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan belum mengakomodasi kepentingan teknis penilaian risiko (risk asssessment) dan penilaian kebutuhan (criminogenic). Penilaian risiko dan kebutuhan merupakan instrumen penting dalam menentukan tindakan dan perlakuan korektif bagi narapidana. Metode ini digunakan untuk menyusun indikator dan memprediksi potensi pengulangan tindak pidana.

Penilaian berdasarkan basis teoretik dan ilmiah melalui riskassessment dan criminogenic pada dasarnya mampu menjadi rujukan pengambilan kebijakan dan perlakuan bagi narapidana. Sebagaimana yang dikatakan Paul Knepper dalam Criminology and Social Policy (2007), kebijakan berangkat dari teori, karena teori memberikan indikasi, relasi kausalitas sekaligus sinyal mengenai bagaimana respons harus diberikan.

Terkait hal tersebut, yang menarik dari RUU Pemasyarakatan adalah kehadiran bab dan pasal yang mengatur tentang penilaian risiko bagi narapidana yang dilaksanakan oleh balai pemasyarakatan. Hadirnya pasal ini tentu merupakan sinyal reformatif di tubuh pemasyarakatan. Betapa tidak, kita menyaksikan perkawinan antara praktik kekuasaan (kebijakan, pengawasan, dan pembinaan narapidana) yang tunduk pada teori dan penelitian (risk assessment and criminogenic).

Dengan kata lain, tiap tindakan pembinaan, pembimbingan, dan perlakuan di dalam lapas menurut RUU Pemasyarakatan harus senantiasa merujuk pada norma penelitian kemasyarakatan (Litmas) dan data dari narapidana. Tujuannya tentu agar ke depannya tidak ada lagi pembinaan yang terkesan menggeneralisasi (menyamaratakan) risiko dan kebutuhan narapidana –yang dalam istilah ini disebut sebagai “malpraktik” pembinaan.

Ke depannya, jika RUU ini disahkan harapan kita kekuasaan negara di dalam lapas menjadi lebih konstruktif dengan titik tekan kebijakan yang (selalu) berdasarkan penelitian objektif dan norma ilmu pengetahuan.

Fachrurrozy Akmal Sarjana Ilmu Hukum Pidana UIN Alauddin Makassar, ASN Kemenkumham dan Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *